GURU; MENEGAKKAN BENANG BASAH DAN KUSUT
Tulisan ini terkhusus untuk pengabdian guru, terutama dalam momentum hari guru 25 November 2015. Sepintas jika difahami judul tulisanini memang se-akan mustahil benang basah untuk ditegakkan, tetapi itulah tugas seorang guru bagaimana yang mustahil itu menjadi kenyata’an. Kalau pun benang basah itu bisa ditegakkan, maka butuh kerja keras, butuh teknik, butuh kesabaran, dan segala upaya lainnya. Tulisan ini bermaksud mengurai bagaimana jasa besar seorang guru, kerja kerasnya, dan keikhlasannya dalam mendidik anak bangsa yang umpamakan sebagai penegak benang basah.
Semua orang pasti tau, bagaimana sifat sehelai benang, lemas-lunglai dan tak berdaya. Ia tidak akan bisa bermanfaat, atau tidak akan bisa berdiri sendiri, kalau tidak ada yang membantunya dalam bingkai jahitan baju yang kelak tersusun rapi, elok dan berguna untuk diri dan orang lain. Apalagi jika benang itu basah, maka semakin berat untuk membuat ia dapat digunakan, butuh daya upaya yang keras untuk ia bisa dipintal dalam sebuah jahitan atau tenunan yang Indah. Benang sudah basah ditambah kusut, wah itu pasti repot untuk dimanfaatkan, bahkan kebanyakan memilih untuk dibuang saja, karena hampir tidak ada gunanya, dan butuh waktu lama untuk bisa teruarai dan dapat digunakan dalam jahitan dan tenunan. Benang basah dan kusut itulah murid, peserta didik, siswa/i yang setiap pagi dijumpai guru, setiap hari ditemani untuk mendapatkan pengetahuan sebagai modal hidup.
SOSOK PENEGAK BENANG BASAH
Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ki Hajar Dewantara
Kutipan petuah Ki Hajar terkait konsepsi dan praksis pendidikan di masyarakat di atas selalu menempel lekat dalam hati dan pikiran para pelaku pendidikan di Indonesia, terutama bagi para guru. Dengan bahasa sansekerta beliau seakan menegaskan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa tertentu yang kaya akan makna. Kalau petuah tersebut disingkronkan dengan konsep pendidikan di abad modern dan post modern memang masih sangat relevan. Perubahan kurikulum dengan seperangkat paradigma yang menitikberatkan peran guru, posisi murid, karakter, nilai etika, dan lainnya sebagainya seakan selalu terangkam dalam isi dari petuah tersebut. Artinya petuah tersebut tentu selalu menjadi spirit setiap perubahan konsepsi pendidikan di Indonesia.
Guru: Tut Wuri Handayani
Petuah tersebut memberikan makna bahwa seorang guru adalah motifator bagi muridnya, medorong dan memberikan arahan untuk sukses dalam pengalaman belajar. Hal ini dalam konsep pendidikan kekinian mengisyaratkan posisi guru sebagai fasilitator muridnya, yang bertugas menggiring siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri (student center), sehingga pengetahuan yang diterima oleh siswa dapat menumbuhkan kesadaran jiwa untuk bertindak secara bijak dan menimbulkan sikap baik untuk kebaikan.
Guru: Ing Madya Mangun Karsa
Petuah ini merupakan nilai esensial seorang guru, bagaimana kompetensi pengetahuan seorang guru terukur. Karena ungkapan ini menekankan bagaimana keberadaan seorang guru di tengah, bagi dan atau di antara muridnya, dapat menciptakan prakarsa dan ide yang inovatif. Pada akhirnya kemampuan itu dapat tertransformasi kepada siswa dengan baik, dan dapat mewarnai ethic siswa dalam kehidupan sehari. Dalam kontek ini Guru selain sebagai figur yang melakukan tranformasi ilmu, dia juga harus mampu melakukan inovasi untuk pengembangan pengetahuan.
Guru: Ing Ngarsa Sung Tulada
Pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, artinya guru adalah teladan bagi muridnya. Teladan dalam ucapan, perbuatan, dan laku sosial. Itulah makna petuah KI Hajar “Ing Ngarso Sung Tulada”, artinya guru harus bisa menjadi tauladan bagi siswa, tidak hanya ketika berada di sekolah, tapi juga konsisten dengan laku positif di luar sekolah. Teladan adalah pancaran dari proses ethic positif yang tidak bisa direkayasa. Karena teladan adalah nilai esensial dari keikhlasan dalam berniat, berkata, dan berprilaku. Guru profesional adalah figure idola bagi siswa dimana pun, kapan pun, dan untuk siapapun.
BENANG BASAH AKAN TEGAK
Betapa pentingnya posisi seorang guru dalam aktifitas pendidikan, terutama dalam membentuk karakter mulia muridnya. Mungkin kadang jasa sang guru dilupakan ketika langkah sang murid sudah “tegak”. Tapi sang guru akan tetap mengnang dengan ketulusan dan keikhlasan. Bahkan merasa bahagian jika benang itu tegak menjulang ke langit mengalahkan sang empuhnya.
Sejak lama Empu Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengisyaratkan posisi guru, jasa guru, melalui petuah-petuah dengan bahasa sansekerta. Guru bukan sekedar mengajarkan keilmuan tertentu, tapi dia juga harus dapat menjadi instrument perekat nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air, nilai religiusitas dan spritualitas. Selain itu juga Guru harus menjadi tauladan bagi siswa, menjadi orang tua yang selalu membimbing anaknya, menjadi problem solver dalam setiap sumbatan pengetahuan dan wacana bagi orang-orang di sekitanya. Di sini lah nilai esensial Guru sebagai pokoguru pendidikan di Indonesia. Berfikir, berdzikir, beramal sholeh, serta mengabdi kepada masyarakat adalah nilai yang harus ada tertanam dalam sanubari seorang Sokoguru, begitulah KI Hajar Dewantara membangnun konsepsi pendidikan di bumi Nusantara.
Tulisan ini terkhusus untuk pengabdian guru, terutama dalam momentum hari guru 25 November 2015. Sepintas jika difahami judul tulisanini memang se-akan mustahil benang basah untuk ditegakkan, tetapi itulah tugas seorang guru bagaimana yang mustahil itu menjadi kenyata’an. Kalau pun benang basah itu bisa ditegakkan, maka butuh kerja keras, butuh teknik, butuh kesabaran, dan segala upaya lainnya. Tulisan ini bermaksud mengurai bagaimana jasa besar seorang guru, kerja kerasnya, dan keikhlasannya dalam mendidik anak bangsa yang umpamakan sebagai penegak benang basah.
Semua orang pasti tau, bagaimana sifat sehelai benang, lemas-lunglai dan tak berdaya. Ia tidak akan bisa bermanfaat, atau tidak akan bisa berdiri sendiri, kalau tidak ada yang membantunya dalam bingkai jahitan baju yang kelak tersusun rapi, elok dan berguna untuk diri dan orang lain. Apalagi jika benang itu basah, maka semakin berat untuk membuat ia dapat digunakan, butuh daya upaya yang keras untuk ia bisa dipintal dalam sebuah jahitan atau tenunan yang Indah. Benang sudah basah ditambah kusut, wah itu pasti repot untuk dimanfaatkan, bahkan kebanyakan memilih untuk dibuang saja, karena hampir tidak ada gunanya, dan butuh waktu lama untuk bisa teruarai dan dapat digunakan dalam jahitan dan tenunan. Benang basah dan kusut itulah murid, peserta didik, siswa/i yang setiap pagi dijumpai guru, setiap hari ditemani untuk mendapatkan pengetahuan sebagai modal hidup.
SOSOK PENEGAK BENANG BASAH
Tut wuri handayani”, atau aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ki Hajar Dewantara
Kutipan petuah Ki Hajar terkait konsepsi dan praksis pendidikan di masyarakat di atas selalu menempel lekat dalam hati dan pikiran para pelaku pendidikan di Indonesia, terutama bagi para guru. Dengan bahasa sansekerta beliau seakan menegaskan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa tertentu yang kaya akan makna. Kalau petuah tersebut disingkronkan dengan konsep pendidikan di abad modern dan post modern memang masih sangat relevan. Perubahan kurikulum dengan seperangkat paradigma yang menitikberatkan peran guru, posisi murid, karakter, nilai etika, dan lainnya sebagainya seakan selalu terangkam dalam isi dari petuah tersebut. Artinya petuah tersebut tentu selalu menjadi spirit setiap perubahan konsepsi pendidikan di Indonesia.
Guru: Tut Wuri Handayani
Petuah tersebut memberikan makna bahwa seorang guru adalah motifator bagi muridnya, medorong dan memberikan arahan untuk sukses dalam pengalaman belajar. Hal ini dalam konsep pendidikan kekinian mengisyaratkan posisi guru sebagai fasilitator muridnya, yang bertugas menggiring siswa untuk menemukan pengetahuan secara mandiri (student center), sehingga pengetahuan yang diterima oleh siswa dapat menumbuhkan kesadaran jiwa untuk bertindak secara bijak dan menimbulkan sikap baik untuk kebaikan.
Guru: Ing Madya Mangun Karsa
Petuah ini merupakan nilai esensial seorang guru, bagaimana kompetensi pengetahuan seorang guru terukur. Karena ungkapan ini menekankan bagaimana keberadaan seorang guru di tengah, bagi dan atau di antara muridnya, dapat menciptakan prakarsa dan ide yang inovatif. Pada akhirnya kemampuan itu dapat tertransformasi kepada siswa dengan baik, dan dapat mewarnai ethic siswa dalam kehidupan sehari. Dalam kontek ini Guru selain sebagai figur yang melakukan tranformasi ilmu, dia juga harus mampu melakukan inovasi untuk pengembangan pengetahuan.
Guru: Ing Ngarsa Sung Tulada
Pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, artinya guru adalah teladan bagi muridnya. Teladan dalam ucapan, perbuatan, dan laku sosial. Itulah makna petuah KI Hajar “Ing Ngarso Sung Tulada”, artinya guru harus bisa menjadi tauladan bagi siswa, tidak hanya ketika berada di sekolah, tapi juga konsisten dengan laku positif di luar sekolah. Teladan adalah pancaran dari proses ethic positif yang tidak bisa direkayasa. Karena teladan adalah nilai esensial dari keikhlasan dalam berniat, berkata, dan berprilaku. Guru profesional adalah figure idola bagi siswa dimana pun, kapan pun, dan untuk siapapun.
BENANG BASAH AKAN TEGAK
Betapa pentingnya posisi seorang guru dalam aktifitas pendidikan, terutama dalam membentuk karakter mulia muridnya. Mungkin kadang jasa sang guru dilupakan ketika langkah sang murid sudah “tegak”. Tapi sang guru akan tetap mengnang dengan ketulusan dan keikhlasan. Bahkan merasa bahagian jika benang itu tegak menjulang ke langit mengalahkan sang empuhnya.
Sejak lama Empu Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengisyaratkan posisi guru, jasa guru, melalui petuah-petuah dengan bahasa sansekerta. Guru bukan sekedar mengajarkan keilmuan tertentu, tapi dia juga harus dapat menjadi instrument perekat nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air, nilai religiusitas dan spritualitas. Selain itu juga Guru harus menjadi tauladan bagi siswa, menjadi orang tua yang selalu membimbing anaknya, menjadi problem solver dalam setiap sumbatan pengetahuan dan wacana bagi orang-orang di sekitanya. Di sini lah nilai esensial Guru sebagai pokoguru pendidikan di Indonesia. Berfikir, berdzikir, beramal sholeh, serta mengabdi kepada masyarakat adalah nilai yang harus ada tertanam dalam sanubari seorang Sokoguru, begitulah KI Hajar Dewantara membangnun konsepsi pendidikan di bumi Nusantara.
Posting Komentar